Minggu, 05 Juli 2009

Assalamu’alaikum, bidadariku


“Assalamu’alaikum, bidadariku……”

Berkesan suatu saat dengar pesan dari Mario Teguh :

Jika memang seorang suami tidak pernah berdoa, “Ya Tuhan…. Jadikan isteriku yang paling tercantik dihatiku.” Lalu suami tersebut punya rencana apa untuk keluarganya ??

Sering kita punya angan sebuah keluarga yang harmonis ; suami yang penyayang dan berwibawa, isteri telaten sempurna bak bidadari, anak-anak yang sehat cerdas dan soleh, rumah yang lapang dan sejuk dihati, kehidupan keluarga impian yang cukup memuaskan. Cukuplah sebagai pengusir rasa penat untuk mengumpulkan energi di keesokan harinya.

Seiring itu pula kita sering lupa bahwa angan tersebut tidak bisa dicapai dengan mimpi, butuh aksi nyata, butuh tindakan yang dimulai dengan sesuatu yang paling sederhana. Bukankah sesuatu yang besar dimulai dengan hal-hal yang kecil ?

Bagi anda yang sudah ditakdirkan memiliki pasangan hidup, tahukah anda bahwa menciptakan sosok bidadari di hati anda dan pasangan hidup anda adalah merupakan kejutan awal untuk keindahan rumah anda ? Jika konsep bidadari telah menjelma dihati, rasakan bagaimana itu akan memberi inspirasi dalam hidup dan pribadi anda. Saya pribadi sudah merasakan sendiri bagaimana manfaat gelora bidadari dalam bilik hati saya yang paling dalam.

Saya ingin berbagi pengalaman sedikit bagaimana proses bidadari terjadi dalam diri saya :

Awal menikah dengan laki-laki penyayang bernama Firman Rizanie, waktu itu saya berumur 25 tahun dan Saya tau dan sangat sadar diri bahwa Saya bukan seorang bidadari (lagian, mana ada bidadari matanya minus sampe harus pake kaca mata ?he…he…). Jika Saya tanyakan ini pada suami, dia selalu menjawab,”ah, itu perasaan Ayang doang, deeh…” begitu panggilan kesayangan suami kepada saya. Saya tau dia akan menjawab ini karena dia suami yang baik. He 3

Tahukah apa yang terjadi kemudian di awal pernikahan kami ? Rumah kami penuh dengan masalah. Banyak hal-hal buruk yang telah terjadi. Kabut kelabu telah mewarnai catatan hati kami.

Saya berkutat dengan rasa ego Saya sebagai perempuan. Saya ikat ego itu, Saya bungkus rapat-rapat didalam hati. Sementara suami Saya sangat santai dengan kepolosannya… dengan logikanya. Hati saya tercabik-cabik, dia seperti tidak pernah mengerti, tidak pernah memahami, ngga pernah mikir. Hingga kemudian air hujan deras membasahi pipi isterinya. Dia bingung,”is there some think wrong, dear…? Ada yang salah ???”

Air mata saya mengharu biru di lembar buku harian saya yang juga biru.. Saya ingin berontak dari rasa kurang nyaman ini, melampiaskannya dengan tersedu-sedu kemudian berhambur kedada suami saya yang bidang, ehem…. Tapi, saya tidak bisa bicara ! Alhasil 2 lembar emosi telah terisi dengan tulisan-tulisan acak dan sesekali tintanya nyebar karena nyampur ama air hujan lokal.

Sebagai isteri yang baik, Saya tidak harus menangis setiap hari, bukan ? Besok Saya tersenyum dipagi hari menyapa cinta, “there is not some think wrong, dear ?... semuanya baik-baik saja.” Senyum Saya benar-benar bisa meyakinkan suami bahwa tidak ada yang salah kemarin itu. Saya aja yang cengeng. Saya mengunci kisi hati. Saya kunci rapat-rapat ego Saya yang sedikit itu dan Saya seperti lapar ego.

Jadi ingat konsep Mba Afifah Afra tentang konsep lapar ego. Hanya orang-orang yang kenyang ego yang bisa mencintai dengan tulus meski harus mencintai orang dengan tipe yang paling buruk sekalipun. Ya, karena cinta itu memberi bukan menuntut. Suami Saya baik-baik saja, bukan yang terburuk. Ego Saya yang lapar membuat Saya tidak mampu untuk belajar mencintai dengan baik.

Saya memelihara rasa lapar ego itu dan memenjarakannya di bilik cinta Saya. Satu bulan kemudian Saya menangis lagi, buku harian sayapun basah lagi dan gambaran cengengpun saya lukis lagi. Alhasil, besoknya saya tersenyum lagi.

Hingga setahun berlalu, saya tetap menangis dengan air mata yang sama tidak berubah dan ajaib …., besoknya Saya tetap bisa tersenyum kembali. Buku birupun semakin tebal terisi dengan berbagai gejolak rasa esmosi…, eh, emosi jiwa. Suami sampe hapal dengan kebiasaan itu, “udah lama ngga hujan, niih…. Kayaknya bakal mendung lagi. Dah ada tanda-tandanya, tuuh..?”. Oh, my dear…. Kamu tidak tau betapa sering aku menangis diam-diam. Kamu pun tidak tahu betapa gejolaknya perasaanku yang tertulis di diaryku, ya, hanya tertulis.

Begitulah yang terjadi, kehidupan berkeluarga tetap berjalan normal. Suami saya bekerja mencari nafkah dan saya berkutat dengan urusan domestik, memasak, nyuci, hamil….. momong anak, hamil lagi….. momong anak lagi , ditambah dengan momong suami tentunya. Bukankah seperti ini aktifitas normal yang sering kita lihat di banyak keluarga ?

Sampai kemudian ada hal mendesak yang mendorong saya kembali banjir, banjir tsunami yang lebih dari biasanya. Saya jadi ingat tragedi Situ Gintung, luapan dan desakan air yang menghambur meluluhlantakkan rumah-rumah penduduk sekitar, korban bergelimpangan. Sama seperti saya, desakan banjir dari hati saya tidak bisa ditahan lagi. Saya sudah bertekad, saya ingin mengakhiri hubungan keluarga ini, saya ingin cerai.

“Maafkan, isterimu ini sudah tak kuat. Saya sudah pikirkan beribu-ribu kali, kelihatannya alternative itu tidak salah, apakah kita harus sendiri-sendiri ?..” berpaling wajah saya sodorkan tulisan singkat dari robekan catatan biru yang basah. Sementara suami saya termenung dalam diam. Seperti biasa, dia bingung, bingung dengan robekan air mata saya dan bingung dengan kondisi saya.

Seperti biasa, kami diam. Berbeda seratus enam puluh derajat ketika kami biasa mengobrol tentang banyak hal. Pada saat kami harus berbicara tentang diri sendiri, hanya antara diri aku dan kamu, kami benar-benar kehilangan bahasa. Uh… betapa tidak mudahnya mengungkap cinta dan betapa sulitnya mengurai cinta…., hingga cinta itu akan pergi, tidak ada kata-kata.

“Prang !.....” tsunami itu mulai menghantam dinding rumah kelabu. Pigura dengan senyum permaisuri yang manis harus jadi korbannya. Robekan biru ternyata tidak sekedar catatan, “aku tidak main-main….., mengapa tidak ada jawaban !” begitu kiranya setan yang bergelayut dihati yang sendu.

Suami tak bergeming dalam diamnya, dia pergi begitu saja. Sementara saya pusing dengan desakan banjir yang dah kehabisan airnya. Saya lemas dalam emosi, “Ya Allah…. Berikan keputusan itu malam ini juga… aku jenuh..” Saya sudah persiapkan semuanya, dikamar kedua jagoan kami dah lelap dalam mimpinya, mimpi dunia anak-anak yang indah, begitu polos, tidak ada yang dipendam.

Saya dah kehabisan air…, oh, tidak… ada suara gemericik air yang jatuh, terdengar diujung dapur. Ya, suami saya sedang mengambil air wudhu. Kupandangi punggung suami yang lebar, sudah 15 menit dia berdoa, punggung itu naik turun, saya merasakan getaran nafas yang berat. Apa yang paling berat dari seorang suami ketika dihadapkan pilihan berpisah dari permaisurinya. “Maafkan, saya belum yang terbaik….”.

Kebisuan menyergap… sementara jam sudah berdentang 12 kali, sudah tengah malam. Ah, diam yang menjemukan. Kusodorkan utuh semua lembar-lembar biru, penuh dengan lara sebagai jawaban figura yang jatuh berkeping-keping, seperti hatiku. Perlahan tapi pasti suami membuka lembaran yang memang sudah diberi ciri.

Lembar pertama dibuka,

………..Tapi mengapa hati ini tidak tenteram dalam istana ini, sayang ?, mengapa ??.... Tergiang ditelingaku bunyi surah Ar Ruum ayat 21 ; “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah ia menciptakan isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian merasa cenderung dan merasa tenteram kepadanya.”…………

Suami mengambil nafas panjang dengan mimik wajah sangat serius.

Lembar berikutnya dibaca, suami menatap langit-langit rumah sebelah kiri, menggambarkan lagi ingatan pada kejadian-kejadian yang memang tidak pernah terlintas akan memenuhi lembaran biru isterinya. Dia kembali menarik nafas panjang dan mimik wajahnya sedikit lebih santai.

Berpuluh lembar biru mengiringi malam yang dingin, sebanyak itu pula suami mulai mengerti siapa isterinya, sirat sembabnya kelopak mata yang tidak terhiraukan, pucuk cinta seorang wanita yang mendamba pangerannya. Dia kembali menarik nafas panjang, “Maafkan aku, isteriku…”.

Terkadang suami tidak tahan untuk menyembunyikan kulum senyumnya, tapi hanya sejenak, dia kembali serius dan kembali dengan nafas panjangnya, hingga lembar biru terakhir :

………………………Tanpa terasa beberapa tetes air mataku yang sudah dingin menetes ke wajah suamiku “bangun suamiku ... lihat isterimu ini. Tolong beritahu bagaimana caranya agar aku bisa merasa telah menjadi bidadarimu ..” ingin kuguncang-guncang tubuh suami yang terlalu lelap……………….

………………Tubuhku menggigil. Aku begitu kedinginan. Sungguh aku menginginkan kehangatan. Aku rindu sekali dekapan dari seorang laki-laki yang bisa membuatku merasa paling cantik di dunia. Kupeluk dan kuciumi suami . Tangisku kesegukan………………….

Suami menatap saya yang sungguh, malu. Marah dan sakit hati lenyap seketika kalah oleh rasa malu. Betapa rasa lapar egoku telah tertelanjangi sekejab oleh lembaran-lembaran biru itu, lapar ego yang tak mungkin terungkapkan lewat kata-kata.

Suami menyodorkan lembar biru yang baru, “Ada yang ingin dituliskan lagi, bidadariku ?...”

Mataku memanas lagi,”Apakah aku mungkin menjadi bidadarimu ? Aku kelelahan…”. Lembar biru yang sendu dan malu-malu.

“Allah akan segera menciptakan bidadari dihati kita. Insyaallah….. jika Allah masih memberi waktu untuk seorang suami yang belajar menjadi dewasa. Suami yang malang ini semakin yakin, engkau, bidadariku..” . Suami melukisnya dengan tulisan yang paling indah.

Sejak saat itu, saya tetap menangis, dan keesokan harinya saya tersenyum dan menuliskannya, “saya sedang belajar menjadi bidadari, sayang?”. Begitulah seterusnya, saya masih menangis dan setelah itu saya merasa lebih cantik untuk menjadi bidadari. Apakah seorang perempuan sangat mudah untuk menangis untuk memelihara rona keindahan fisiknya ? Saya merasa lebih lega setelah menangis.

Pernah saya merasa hampir putus asa dan saya menangis lagi. Lembar biru itu berbicara lagi, “menjadi bidadari rasanya terlalu sempurna…, tidak mudah untuk menjadi bidadari…”. Terkadang diam-diam dalam sepertiga malam saya berkubah air mata dalam doa, “ Ya Allah…. Bantu kami menciptakan bidadari sorga dibilik hati kami yang terdalam..”, dan besoknya ada energi dahsyat, saya tersenyum penuh harap, ada bayang-bayang bidadari sorga disana.

Dan suami saya, subhanallah…… dia menjadi jauh lebih dewasa. Bulir-bulir air mata saya yang berbekas dilembaran biru itu, telah membuatnya menjadi lelaki yang lebih cerdas rasa, naluri. Seperti yang sudah-sudah, dia tetap penyayang. Dan saya sendiri, subhanallah……. Senyum dan tangis yang menghiasi gurat-gurat usia yang semakin bertambah memasuki kepala 3, kata suami, saya selalu bertambah cantik.

Saya tahu, ada doa yang tulus dari seorang laki-laki yang memang ditakdirkan Allah SWT menjadi kekasihku ini. Setiap hari pagi dan sore, dengan pandangan mata yang tidak pernah dibuat-buat, cinta menyapaku, “Assalamu’alaikum, bidadariku….”


Subhanallah…. Maha Cantik Allah yang telah mencipta ketentraman jiwa 2 insan. Apa yang ingin saya sampaikan kepada anda ?...

Lihatlah, betapa “MENULIS” telah menolongku dari gejolak jiwa yang sebenarnya bisa sangat merugikan bagi diriku sendiri. Menulis telah menolong menyelesaikan masalah hidup. Menulis membuat kita berpikir lebih panjang dan dewasa. Menulis membuatku lebih sabar. Menulis membuatku lebih mudah mengenal Allah SWT. Menulis, kata suamiku membuatku telah menjadi bidadari. Thanks a lot, my dear……